Beranda | Artikel
Memetik Hikmah al-Fatihah [2]
Senin, 7 Oktober 2019

Bagian 2.

Mewujudkan Syukur kepada Allah

Syukur kepada Allah sebagaimana diterangkan oleh para ulama mencakup pengakuan di dalam hati bahwa seluruh nikmat itu datang dari Allah, memuji Allah dengan lisan, dan menggunakan nikmat-nikmat Allah dalam ketaatan.

Di dalam surat al-Fatihah kita selalu membaca pujian kepada Allah, yaitu kalimat alhamdulillah. Sebuah kalimat yang ringan di lisan akan tetapi sangat berat dalam timbangan kebaikan. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf, bahwa alhamdulillah merupakan kalimat yang diucapkan oleh setiap orang yang bersyukur. Dengan mengucapkan alhamdulillah, seorang hamba memuji Allah yang telah menciptakan dirinya dan memberikan rezeki dan nikmat kepada dirinya.

Syukur itu sendiri merupakan sebab nikmat terjaga dan bertahan. Sebaliknya, tidak mensyukuri nikmat adalah sebab lenyapnya nikmat dan datangnya azab. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian para ulama, bahwa nikmat itu jika disyukuri akan lestari, tetapi jika ia diingkari atau dikufuri maka ia akan lari. Dengan demikian kalimat alhamdulillah memberikan hikmah kepada kita bahwa seorang manusia wajib mensyukuri nikmat Allah atas dirinya.

Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur pasti akan Aku tambahkan nikmat atas kalian, tetapi jika kalian kufur sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.” (Ibrahim : 7). Dan bentuk syukur kepada Allah yang paling agung adalah dengan menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Inilah hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Dan nikmat paling besar adalah nikmat hidayah Islam. Oleh sebab itulah di dalam surat al-Fatihah kita selalu dibimbing untuk memohon kepada Allah hidayah agar bisa meniti jalan yang lurus. Yaitu hidayah berupa ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Hidayah untuk berpegang-teguh dengan Islam dan meninggalkan kekafiran. Karena agama yang diterima oleh Allah hanya Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanya Islam.” (Ali ‘Imran : 19). Allah juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima dan dia di akhirat pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Bagian 3.

Ikhlas Beribadah kepada Allah     

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa setiap rasul mengajak umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif/bertauhid, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas untuk-Nya. Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku akan tinggalkan dia dan syirik/sekutunya itu.” (HR. Muslim)

Di dalam al-Fatihah kita membaca kalimat iyaka na’budu, yang artinya ‘Hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah’ ini merupakan kalimat yang mengandung pemurnian ibadah untuk Allah. Yang mana di dalamnya juga terkandung larangan berbuat syirik kepada-Nya. Inilah syarat diterimanya amalan; harus ikhlas karena Allah dan bersih dari syirik.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan janganlah dia mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Sebagaimana telah diterangkan para ulama bahwa ibadah itu mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa ucapan maupun amalan; yang tampak maupun tersembunyi. Adapun secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Ibadah yang dituntut dalam agama ini adalah merendahkan diri dan tunduk kepada Allah dengan dilandasi kecintaan dan pengagungan dalam bentuk ketaatan terhadap perintah dan larangan-Nya.

Maka sholat adalah ibadah, zakat adalah ibadah, bersedekah juga ibadah. Berpuasa, bernadzar, menyembelih, berdoa, meminta perlindungan/isti’adzah, meminta keselamatan/istighotsah. Semua ibadah harus murni dipersembahkan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah memerintahkan; Janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya.” (al-Israa’ : 23)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/memetik-hikmah-al-fatihah-2/